Halaman

Powered By Blogger

Selasa, 31 Maret 2009

Cikeruh-Cimanggung - Jatinangor


urpiatna adalah seorang penggiat seni di Jatinangor. Rumahnya terletak di sebuah desa di Jatinangor, Desa Sayang. Sanggar Motekar, sanggar kecil yang berada di sebelah rumah utamanya, adalah bukti kecintaanya terhadap kesenian Sunda. Surpiatna telah menetap di Jatinangor sejak 1974. Sebelumnya ia sempat tinggal didekat asrama BRIMOB selama dua tahun. Sekitar tahun ’78 barulah ia pindah ke rumah yang ditempatinya sekarang.

Sebelum memulai percakapan, ia bertanya pada rekan saya, ”Tiasa nyarios Sunda?”, karena ia tahu saya tidak dapat berbahasa Sunda.

”Kalau bisa sih tidak terlalu pak, hanya mengerti namun tidak berani ngobrol langsung sama orang Sunda takut jadi kasar” jelas rekan saya tak mau kalah.

Ia hanya tersenyum. Sesaat ia mengambil sebatang rokok, dan mulai membakarnya. Masih dengan suara khasnya, ia mulai asyik bercerita. Dan kami pun larut dalam cerita tersebut.

a. Wilayah desa

Dahulu Kecamatan Cimanggung menyatu dengan kecamatan Cikeruh. Batasnya yaitu dari Sinduang di Utara sampai dengan Cipacing di Selatan. Ada 11 kecamatan Cekeruh dari Utara yaitu Sindulang, Cimangung, Parakanmuncang, Bunter, Sawah Dadap (lima desa ini sekarang masuk ke dalam kawasan kecamatan Cimanggung), Cisempur, Jatiroke, Sayang, Cikeruh, Cipacing, dan Cileles (enam desa ini masuk ke dalam Kecamatan Cikeruh).

”Desa dibagi dua, yang asalnya enam desa menjadi dua belas desa di satu Kecamatan Cikeruh, yaitu Cisempur dan Cintamulya, Jatiroke dan Jatimukti, Sayang dan Mekargalih, Cikeruh dan Hegarmanah, Cipacing dan Cibeusi, serta Cileles dan Cilayung,” jelas Surpiatna.

Tahun 2000 Kecamatan Cikeuruh berganti nama jadi Kecamatan Jatinangor. Sedangkan Kecamatan Cimanggung masih bernama Kecamatan Cimanggung sampai sekarang. Jatinangor adalah satu wilayah di dalam Desa Cikeuruh. Wilayahnya kecil. Atapnya bisa dihitung. Yang ada hanya kantor polsek dan rumah-rumah di sekitarnya. Dahulu, kantor kapolsek ada di dalam, tidak seperti sekarang yang ada di pinggir jalan.

Perbatasan paling timur dari Jatinangor adalah Desa Cisempur, sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Tanjung Sari, sebelah barat adalah Desa Cipacing, sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Rancaekek.

b. Hal yang terlupakan di Jatinangor

Kebun Teh Milik Tuan Baron van Baud

Nama Jatinangor terkenal sejak dulu, karena digunakan sebagai nama kebun teh dan karet milik Baron van Baud, ia adalah seorang berkebangsaan Belanda. Sekarang yang tersisa hanya lah reruntuhan kejayaan perkebunan teh milik Baron Van Baud. Setelah kebun tehnya rusak, yang ada hanyalah pohon karet, yang berdiri sepanjang jalan dari Cikuda sampai dengan Cibeusi, lalu menyambung sampai ke kaki gunung Manglayang. Saat ini jalan yang digunakan menuju perkebunan teh telah menjadi kantor Polsek Jatinangor. Jalan tersebut luas, namun tidak diaspal hanya dilapisi batu sebesar kepalan tangan.

Kurang lebih tiga ratus meter ke dalam, kita dapat menemukan bangunan-bangunan seperti gudang, pabrik, SD Jatinangor, menara Sirine, rumah bekas Baron Van Baud, masjid, lapangan bola dan makam Baron Van Baud di sebelah Barat (sekarang dijadikan Universitas Winayamukti).

”Makam itu dibuat dari marmer yang diatasnya ada nama, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya tuan Baron, tapi akhirnya banyak bagian makam yang dicuri sama penduduk yang ngoleksi barang antik”

Sepeninggalnya tuan Baron perkebunan tersebut sudah tidak terlalu diurus, menara Sirine dan tempat tinggal tuan Baron juga menjadi hancur, tangganya sudah tidak bisa dinaiki karena sudah runtuh akibat lapuk. Bangunan pabrik karet juga mengalami hal yang serupa. Keadaannya sudah sangat menghawatirkan. Temboknya banyak yang telah mengelupas, atap sengnya mencuat dan jatuh karena tiangnya banyak yang lapuk. Kacanya banyak yang sudah pecah pun tidak diganti.

Di bagian kebun, banyak rumput liar yang sudah memenuhi tempat itu. Bahkan, saat ini pohon karetnya juga sudah tidak difungsikan dan disadap lagi. Semuanya memberi gambaran bahwa ondememing (perkebunan teh dibawah kekuasaan Belanda) telah sampai pada ajalnya. Dua tahun sejak itu, perkebunan itu ditutup dan hanya meninggalkan kenangan bagi orang-orang yang tahu bahwa disana pernah ada sebuah perkebunan luas milik tuan Baron van Baud.

Sejarah Kereta Api

Selain kebun teh milik tuan Baron, Jatinangor juga terkenal karena keberadaan kereta api. Trayeknya yaitu Rancaekek-Jatinangor-Tanjung Sari. Di Jatinangor stasiunnya terletak di tempat yang sekarang menjadi Dinas Pendidikan, seberang warung Kalde, sayangnya, kenangan yang masih ada hingga saat ini hanya tangganya saja.

Menurut buku Wajah Bandoeng Tempo Dulu, jalur KA tersebut diresmikan pada 23 Februari 1918, dan diurus oleh SS (Staats Spoorwegar) perusahaan kereta api zaman Belanda. Rutenya yaitu stasiun Rancaekek, memotong jalan mobil di Cipacing, masuk Cipacing, lalu masuk ke jalan mobil dekat kampung Caringin, Cikuda, Jembatan Caringin, Cileles, dan Tanjung Sari. Sayangnya rutenya ini tidak melewati Sumedang, awalnya emmang pernah direncanakan, tetapi permasalahan ada di kawasan Cadas Pangeran. Jurang dan cadasnya terlalu curam sehingga tidak cocok untuk dijadikan jalan rel kereta api.

Dari Rancaekek tidak terus ke Bandung, kalau mau langsung ke Bandung harus ganti kereta. Bekas rel kereta disebutnya tanah SS. Sekarang sudah tidak terlihat bekas-bekas adanya rel kereta api, karena lahan tersebut sudah dijadikan kebun atau malah sudah dijadikan bangunan,

”Kalau di Tanjung Sari ada desa yang namanya Desa SS, asal muasalnya ya dari sana juga. Tempatnya dekat dengan alun-alun. Halte Tanjung Sari adanya di sebelah Utara Jembatan. Jembatan itu juga dilewati oleh rel,” tambah Surpiatna.

Menurut Bah Idik, seorang teman lama Surpiatna, pemberhentian kereta api itu berada di Tanjung Sari. Jam pertama adalah jam lima subuh, jalannya dari Tanjung Sari tiba di Jatinangor jam lima seperempat, sampai ke Rancaekek setengah enam kurang. Jalan keduanya jam enam, jalan dari Rancaekek, sampai di Jatinangor jam enam lewat sedikit. Sampai ke Tanjung Sari jam setengah tujuh. Jam ketiganya jam tujuh dari Tanjung Sari, dan begitulah bolak-balik. Tengah hari baru istirahat. Setelah itu jam lima sore dari rancaekek ke Tanjung Sari. Jalur kereta api ini, sangat besar bantuannya bagi pemerintah dan masyarakat, baik yang mau pergi ataupun bagi yang mau usaha.

Dulu tidak ada penumpang yang tidak kebagian duduk, karcis yang dijual selalu karcis duduk. Yang ketahuan tidak membeli karcis dihukum tanpa ampun. Hal tersebut bertentangan dengan kenyataan saat ini, atap kereta api justru penuh dengan penumpang. Rel kereta api ini dihancurkannya pada zaman Jepang dan oleh Jepang. Relnya diangkat dan diambil besinya.

”Dikirim ke tokyo” tambah Bah Idik.

Rapat Bahruteng yang Selalu Dinanti

Segala bentuk kegiatan warga desa akan dilaporkan ke pihak desa. Apabila ada masyarakat yang terlibat konflik maka warga desa turut serta menyelesaikannya. Yang mengadakan pesta baik yang diundang maupun tidak, pasti pemberitahuannya akan diberitahu dari desa.

Motong domba atau sapi harus lapor dulu ke desa. Bagi warga yang rumahnya sudah rusak sekali, biasanya dibantu oleh desa untuk dibenarkan kembali. Kerja bakti, ronda malam, perkumpulan apapun pasti selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar. Jarang ada yang tidak datang kecuali memang ada urusan yang sangat penting sehingga benar-benar tidak bisa datang atau ikutan. Sekalipun ada halangan mereka biasanya meminta izin dahulu dan menyebutkan alasanya kenapa mereka tidak bisa ikutan atau datang.

Apabila ada pengumuman atau perintah dari pemerintah, cukup diberitahukan melalui ketua RT (Rukun Tetangga), kemudian ketua RT memberitahukannya dari mulut-ke-mulut pada hari yang sama. Kalau ada yang terlewat biasanya mereka malah menggerutu

”Kenapa saya ga diberitahu,” tambah Surpiatna mencoba menirukan gaya bicara warga tersebut.

Kalau ada kegiatan kerja bakti, misalnya membersihkan selokan atau jalan desa, dengan sendirinya warga membawa cangkul untuk membantu membersihan jalan. Bila laki-lakinya sedang ada halangan, para wanita juga sibuk membantu dengan membawa alat pel dan sapu lidi.

Kalau ada ”Rapat Bahruteng” (Rapat Anggaran Belanja Desa), kantor desa akan selalu penuh oleh warga, baik pria ataupun wanita. Biasanya dalam rapat tersebut apabila disahkan tutupnya ”Rapat Bahruteng” tahun berapa dan kapan ”Rapat Bahruteng” akan dijalankan kembali, tanda sahnya adalah teriakan serempak dari para warga yang berteriak. ”sah!” sebanyak tiga kali.

Dalam teriakan serempak yang ketiga, Pa Kuwu, sebutan bagi sebagai pemimpin rapat, akan mengetok palunya sebanyak tiga kali yang menandakan sah. Camat ataupun utusannya juga sering turut hadir, walaupun hanya menonton. Kadang kala mereka memberi saran dan menjelaskan bantuan-bantuan yang bisa diberikan dari pihak atas. Di dalam pemerintahan Pa kuwu warga memang terbiasa bebas memberikan pendapatnya, oleh karena itu sampai sekarang mantan-mantan kuwu masih sangat dihormati oleh warga asli di sana.

Mata pencaharian penduduk di Jatinangor zaman dulu rata-rata adalah petani palawija (terung, toge, dan lain-lain), buruh tani, buruh perkebunan teh, ada juga yang jadi juragan tanah.

Menurut Surpiatna, tokoh yang termasuk disegani di Jatinangor adalah Cecep Hamdani, dia adalah mantan kepala Desa Sayang. Selain itu terdapat ajengan-ajegan pesantren, Ios Nang, dia adalah mantan Wedana, sebuah jabatan yang berada di bawah Camat.

Dahulu masyarakat sama sekali tidak mau menggunakan alas kaki, meskipun pemerintah telah memberikan sendal, pulang dari bertani sendal itu malah dibawa dan bukan di pakai. Masalah pernikahan pun biasanya anak-anak usia dibawah umur yang sudah lulus sekolah langsung dinikahkan oleh orang tuanya.

Sayangnya, kondisi saat ini sudah sangat berbeda dengan yang dulu. Misalnya saja apabila kepala desa mau mengadakan rapat dan sudah menyebarkan undangan ke beberapa tempat, hanya beberapa orang saja yang datang.

”Padahal waktu itu kepala desa sudah menyiapkan uang hadir, tetap saja tidak ada yang datang” tutur pendiri Sanggar Motekar ini.

c. Transportasi

Jalan yang besar yang ada adalah jalan dari Bandung ke Garut dan Jalan Bandung ke Sumedang. Kalau jalan yang di desa biasanya masih berupa tanah. Mobil umumnya adalah mobil antar propinsi, bus antar kabupaten, bus sub urban. Mobil Kol masih jarang ada. Kalau jalan yang dekat misalnya Cicalengka-Bandung, atau Tanjung Sari-Bandung, ada lagi kendaraanya, yaitu mobil seperti yang ada di film ”Si Doel Anak Sekolahan”.

Jalan desa sangat jarang dimasuki oleh mobil. Kadang ada truk, tapi itu juga sangat jarang lewatnya. Kalau kendaraan yang masuk ke desa adalah becak, kereta kuda, dan sepeda. Kalau lagi jarang kendaraan, pulang dari pasar biasanya naik becak atau kereta sampai becak atau kereta itu penuh. Kadangkala orangnya sampa tidak kelihatan, tertutup oleh belanjaannya.

Sepeda pada saat itu digunakan oleh masyarakat sekitar untuk pergi kerja, membawa hasil dari pertanian, dan ngangkut jerami atau rumput. Yang dagang dan belanja juga ada yang menggunakan sepeda. Kadangkala boncengan sepedanya memang dibuat untuk menaruh barang belanjaan. Cat sepedanya biasanya berwarna hitam, kadang-kadang ada juga yang berwarna hijau gelap. Sepedanya mirip dengan sepeda yang ada di Jawa.

Saat itu belum ada ojek. Jangankan motor untuk dijadikan ojek, karena yang punya motor saja hanya beberapa orang saja. Bukan karena tidak mampu, namun orang umumnya tidak pernah beli barang yang menurut mereka belum berguna, apalagi jika barang tersebut mahal. Kadang-kadang juga ada truk yang lewat membawa bambu dari Rancakalong ke Majalaya atau Bandung. Bambu tersebut ditaruh di atas sampai kadang ujungnya hampir menyentuh tanah.

Di zaman kompeni dulu, pada pagi hari biasanya ada membawa bambunya didorong dengan menggunakan gerobak yang didorong dan ditarik oleh dua orang, bisa muatnya tergantung pada jenis bambunya. Kalau bambunya janis bambu tali yang ukurannya kecil miasanya bisa dibawa menggunakan gerobak sekitar empat puluh ikat. Kalau bambu surat hanya bisa dua puluh, itu juga ga diikat.

Zaman dulu bambu tali masih bisa dibeli satu-satu tidak perlu dibeli satu ikat. Demi keselamatan agar tidak ditabrak pada bagian belakangnya biasa dikasih obor sebagai tanda. Mereka biasanya lewat jam tiga pagi.

Sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang yang sudah ada banyak angkutan di Jatinangor, baik yang dari Jatinangor-Sumedang, Jatinangor-Bandung, dan masih ada lagi bus DAMRI yang sering lewat, ada yang sering mangkal di jalan Sayang, yang sekarang sering disebut dengan pangkalan DAMRI,yang berdekatan dengan Jatos.

d. Pendidikan

Dulu, belum ada yang namanya SLA, SMP negeri juga ada hanya ada satu. Karena adanya di kampung Cirangkong, disebutnya juga SMP Cirangkong. Letaknya diapit oleh kebun karet. Lalu setelah STPDN datang sekolah itu dipindahkan ke kampung Cisaladah, dekat dengan Cikuda, dan masih ada sampai sekarang.

SMP Swasta ada dua, yang satu SMPI (SMP Islam), sekarang disebut dengan MTs (Madrasah Tsanawiyah), yang letaknya sebelah Timur sedikit, agak masuk sedikit tidak terlihat dari jalan. Yang satu lagi SMP Muhammadiyah di Citanggulun, Desa Cisempur, sayangnya tidak lama sekitar tahun 80-an ditutup karena kurang muridnya.

Beberapa tahun kemudian berdirilah SMP PGRI, karena dibangunnya oleh warga, maka biasanya mereka sering pindah-pindah. Misalnya ia pernah berada di SD Sayang terus pindah ke SMP negeri di Cirangkong. Ketika SMP negeri diambil alih oleh pihak STPDN SMP PGRI juga ikut pindah ke Cikuda, ke bangunan yang sekarang, berdampingan dengan SMP negeri, hingga sekarang.

Di Jatinangor terdapat sepuluh SD yaitu, yaitu SD Cileles, SD Cekeruh I, SD Cikeruh II, SD Jatinangor, SD Sayang, SD Cipacing I, SD Cipacing II, SD SD Jatiroke I, SD Jatiroke II, dan SD Cisempur. Kalau di Kecamatan Cimanggung, sekarang ada SD Sindulang, SD Parakanmuncang II, SD Cimanggung, SD Bunter I, SD Bunter II, SD Bunter III, dan SD Sawahdadap.

Bangunan asli SD yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda hanya ada dua kelas, sedangkan yang lainnya baru setelah merdeka, dibangun oleh masyarakat secara bersama-sama. SD Inpres dibuat oleh pemerintah pusat mulai tahun 1973, bersamaan dengan masuknya guru-guru pengajar, oleh karena itu guru-guru sering disebut sebagai guru inpres.

Setelah dibangunnya SD Inpres, masyarakat jadi merasa nyaman, karena masyarakat tidak perlu memikirkan bagaimana membangun sekolah lagi. Dulu pada tahun 1974 anak-anak sekolah rata-rata belum menggunakan seragam, barulah sekitar tahun 1980-an pemerintah mulai memberikan seragam beserta sepatu. Wana seragamnya yaitu putih dan biru dongker.

Setelah munculnya banyak perguruan tinggi, yang banyak belajar disana rata-rata adalah para pendatang, karena pada saat itu minat masyarakat asli terhadap kegiatan belajar mengajar masih rendah, sehingga jarang ada anak daerah asli yang kuliah. ”Di SD tempat saya mengajar saja, pada saat itu sekitar tahun 1970-an, masih banyak yang baru kelas tiga sudah keluar,” kenang Surpiatna.

Hal itu terjadi dari kelas 1-6 SD, kemudian dari kelas 6 hingga SMP , angka kelulusannya bisa dihitung dengan jari. ”Dengan adanya gambaran seperti itu, bagaimana mungkin orang mau agar anaknya melanjutkan sekolah ke perguruan negeri?” ujar Surpiatna. alasan mereka umumnya tidak mau sekolah adalah terletak pada faktor ekonomi, dan pada tidak adanya minat baca para siswa.

Surpiatna mengatakan ”dulu alam masih mau menyediakan segala-galanya, sehingga mereka tidak terlalu mementingkan mengenai pendidikan”.

Dian adalah salah satu murid Surpiatna yang berhasil melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang kuliah, ia bisa masuk ke IPDN, pada saat itu masih bernama AKOP. Selain itu Dudi Supardi, salah satu warga asli Jatinangor yang juga berhasil melanjutkan pendidikannya sampai dengan bangku kuliah, namun ia tidak melanjutkan pendidikannya di Jatinangor tetapi justru ia kuliah di luar Jatinangor. Saat ini Dudi menjabat sebagai pejabat di DPRD Sumedang.

e. Kisah Pasar

Dulu terdapat pasar yang bernama Pasar Warungkalde. Warungkalde muncul pada saat masih ada Belanda di Indonesia. Menurur Bah Idik (Cipumanik, Januari 2005) letak Pasar Warungkalde ada di sebelah timur bunderan. Kalau sekarang, pasar tersebut dijadikan gedung bale desa Cikeruh. Bukanya seminggu sekali, makanya sering disebut dengan pasar Ahad. Pasar ini didirikan lebih dulu dibandingkan dengan berdirinya stasiun kreta api, kira-kira sekitar abad ke 20-an.

Luas pasar tersebut kira-kira seratus bata. Pasar ini dibentengi oleh kawat cucuk, tiangnya oleh besi jurutilu. Pasar ini tidak dibatasi dengan pagar yang tetap karena memang tidak dibuat sebagai pasar yang tetap. Biasanya bila sudah selesai pedagang yang belum habis jualannya, dagangannya juga dibawa pulang, kecuali bangku dan meja yang memang sengaja ditaruh disana. Kira-kira ada 6 buah kios yang ada disana, namun kios di pasar tersebut tidak diberi dinding, namun tetap memiliki genteng.

Pasar ini biasanya ramai pada pukul tujuh hingga pukul sepuluh. Kalau ada pembeli yang kepagian, pedagang tetap melayani sambil merapikan dagangannya. Jika adni sambil membereskan dagangan untuk dibawa pulang. Setelah tengah hari pasar tersebut kembali sepi, yang ada hanya beberapa orang petugas yang sibuk membersihkan pasar bekas dagangan. Meskipun pasar ini hanya ada seminggu sekali, namun dalam berdagang penempatan pedagang yang satu dengan yang lainnya sangat beraturat. Misalnya yang berdagang beras disatukan dengan pedagang beras lainnya, pedagang daging disatukan dengan pedagang daging lainnya, dan seterusnya.

Ada lagi pasar di dalam Jatinangor yaitu pasar untuk kebun teh, tidak terlalu jauh dari pasar mingguan yaitu ke ke arah Barat kira-kira seratus meter. Kiosnya ada dua berjajar, bukannya setiap bulan dua kali, yaitu tanggal satu dan tanggal lima belas yaitu pada saat gajian. Pasar ini mulai dibuka setiap tengah hari, kira-kira jam satu-an. Tutupnya berdekatan dengan saat Magrib. Walaupun pasar ini tidak termasuk ke dalam pasar umum, namun pasar ini tidak kalah dengan pasar mingguan, malah mungkin lebih ramai bila dibandingkan dengan pasar mingguan tersebut.

Pembeli yang biasanya membeli disini juga umumnya sangat royal, saking royalnya pernah ada yang mengatakan pembeli disini bagaikan sedang memecahkan celengannya dipasar tersebut. Selain dua pasar itu ada lagi pasar yang dekat dengan Jatinangor yaitu pasar Dangdeur di Rancaekek, bukanya setiap Senin dan Rabu. Pasar Cileunyi bukannya bulan Kamis dan Sabtu. Pasar Tanjung Sari, bukanya setiap Selasa dan Jumat. Ada lagi pasar khusus yang menjual tembakau dan pasar Domba. Tempatnya memang agak memisah namun tidak terlalu jauh dengan Jatinangor.

f. Perubahan Jatinangor

Menurut Surpiatna lagi, setelah penduduk Jatinangor bertambah banyak, pabrik di Jatinangor sudah ada satu atau dua pabrik. Lalu akhirnya muncul banyak permasalahan sehingga pada akhirnya dibagi menjadi dua.

”Ketika saya datang, penduduk di Cikeruh sudah lumayan banyak” ujarnya.

Pabrik yang pertama kali muncul adalah parik tekstil, antara lain yang sudah terhitung lama yaitu Five Star, Kewalraf, kalau Kahatek masih terhitung baru namun ia masih terhitung sebagai pabrik yang paling besar yang terletak di desa Cintamulya. Lalu pabrik Vonex (pabrik jaring) yang terletak di Kecamatan Cimanggung.

”Bila dihitung jumlah pabrik, sebenarnya lebih banyak yang berada di Cimanggung dibandigkan yang ada di Jatinangor” jelasnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, dan mulai berdirinya banyak pabrik dan kampus, masyarakat mulai mencari penghasilan lain. Ada yang mulai bekerja di pabrik-pabrik tersebut, ada juga yang mulai membuka biro jasa, ada yang menjadi kuli bangunan, supir, dan sebagainya.

Data yang diperoleh dari Badan Pembangunan dan Pengawasan Daerah (Bappeda) Sumedang, di bagian selatan terdapat beberapa industri seperti PT. Polifin, PT. Wiska, Yogi Saputra, Insan Sandang, Kahatek, Supratek, dan Banon dengan jumlah pekerja lebih dari 50.000 orang.

Sebelum adanya kampus dan pabrik, pihak pabrik dan kampus juga memita izin terlebih dahulu kepada masyarakat. Biasanya mereka memita izin melalui pemerintah desa. Menurut Surpiatna, pekerja yang banyak bekerja di pabrik justru kebanyakan adalah wanita dibandingkan pria.

Menurut Dudi Supardi, ketua Forum Jatinangor (Forjat), pabrik muncul terlebih dahulu dibandingkan dengan perguruan tinggi. Pabrik adalah imbas dari Bandung, bahkan ada kebijakan baru yang mengatakan bahwa untuk pabrik, pemerintah akan memberikan lokasi yang baru yang akan terdapat di daerah di Ujung Jaya. ”Namun itu masih baru dibicarakan” ujarnya lagi. Menurutnya lagi kemungkinan bahkan akan dibuat lapangan udara. Hal ini dikarenakan pabrik tersebut sudah tidak mungkin dikembangkan kembali. Izin untuk mendirikan investasi biasanya berdasarkan keputusan dari provinsi.

Minggu, 15 Maret 2009

PEMBANGUNAN BUMDES

PADA TAHUN ANGGARAN 2008 INI DESA CIKERUH MENGANGGARKAN PEMBANGUNAN BUMDES SEJUMLAH Rp.14,5 juta
DENGAN LOKASI DI TANAH DESA YANG BERADA DI PERTIGAAN JATINANGOR
TEMPAT INI SANGAT STRATEGIS
SEMOGA SAJA MENJADIKAN DESA CIKERUH LEBIH MAKMUR

PEMBANGUNAN BUMDES

PADA TAHUN ANGGARAN 2008 INI DESA CIKERUH MENGANGGARKAN PEMBANGUNAN BUMDES SEJUMLAH Rp.14,5 juta
DENGAN LOKASI DI TANAH DESA YANG BERADA DI PERTIGAAN JATINANGOR
TEMPAT INI SANGAT STRATEGIS
SEMOGA SAJA MENJADIKAN DESA CIKERUH LEBIH MAKMUR

Sabtu, 14 Maret 2009

PEMBANGUNAN BUMDES

PADA TAHUN ANGGARAN 2008 INI DESA CIKERUH MENGANGGARKAN PEMBANGUNAN BUMDES SEJUMLAH Rp.14,5 juta
DENGAN LOKASI DI TANAH DESA YANG BERADA DI PERTIGAAN JATINANGOR
TEMPAT INI SANGAT STRATEGIS
SEMOGA SAJA MENJADIKAN DESA CIKERUH LEBIH MAKMUR