Halaman

Powered By Blogger

Rabu, 23 Juni 2010

Seni Budaya Cikeruhan Sejak 1817

Seni budaya Cikeruhan yang menjadi icon Wilayah Jatinangor baru kali pertama dimasukan dalam ekstrakurikuler di kalangan sekolah. Yaitu baru ada di SMPN 3 Jatinangor.

Tri Budi Satria
Radar Sumedang

Tidak sulit menemui Pembina Pramuka SMPN 3 Jatinangor Cucu Mulyati, S.Pd, di ruang kerjanya. Dengan semangat dia menceritakan kelebihan kegiatan ekstrakurikuler yang diajarkan kepada para siswanya. Kolaborasi Semapure-Cikeruhan mulai latihan sejak Januari tahun sekarang. ”Belum ada latihan Cikeruhan di sekolah lain. Kami latihan dua kali dalam seminggu,” ucapnya membuka pembicaraan.
Selama ini sekolahnya belum pernah menampilkan kolaborasi Semapure-Cikeruhan dalam sebuah acara. Para siswa tersebut berlatih juga dibimbing pelatih dari guru kesenian Herlia Tisana S. Sen. ”Ini semacam seni budaya Semapure dari pramuka, sedangkan Cikeruhan dari seni budaya yang tergabung dalam kegiatan pramuka dan kesenian,” imbuhnya.
Kepala SMPN 3 Jatinangor Ujang Suhandi, sangat mendukung kegiatan dimaksud. Pihaknya sudah menyampaikan ke Ketua Forum Jatinangor (FJ) Dudi Supardi dan diteruskan ke Wakil Bupati Sumedang Taufiq Gunawansyah seputar kolaborasi antara pramuka dengan kesenian tersebut.
Tujuannya, untuk mengangkat seni Cikeruhan dalam membangun Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS). ”Sumedang itu sudah emergensi ke budaya Sunda, kami merasa punya kewajiban mengangkat budaya Cikeruhan dalam melestarikan SPBS. Jatinangor dulunya bernama Cikeruh, sedangkan seni budaya Cikeruhan itu ada sejak 1817,” urai Cucu.
Sebagai langkah awal adalah membuat opini terlebih dahulu. Supaya orang mengetahui adanya Simapure-Cikeruhan. ”Rencananya kita akan tampil untuk mengisi acara di Golempang, TV Bandung sekitar Maret mendatang. Dan juga pada acara ulangtahun Jatinangor April mendatang serta untuk film dokumenter Cikeruhan akhir bulan ini,” urainya. Khusus film dokumenter lokasi syutingnya langsung di sekolah setempat.
Untuk latihan sementara ini di dua tempat, yaitu di sekolah dan khusus gamelan di Sanggar Motekar-Jatinangor. ”Harapan, dengan terangkatnya Semapure-Cikeruhan ini mudah-mudahan kesenian Cikeruh (Jatinangor) akan berkembang dengan pesatnya. Menggenerasikan kesenian di lingkungan sekolah supaya tidak punah, dipupuk dari usia sekolah,” tutup Cucu.
Posted by Radar Sumedang at 11:42 PM

Tari Cikeruhan

Sabtu, 29 Mei 2010 | 14:33 WIB

Oleh Fandy Hutari dari Kompas.cetak

Budayawan Jatinangor resah dengan seni cikeruhan. Pasalnya, seni yang diduga berasal dari Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, ini sudah jarang dipentaskan di tempat asalnya. Seniman yang ahli bermain musik pengiring cikeruhan juga semakin langka.

Di kalangan masyarakat, definisi cikeruhan sering ambigu. Pada sebuah program Sanggar Motekar bertema "Cikeruhan Ceuk Urang Cikeruh" untuk meneliti keberadaan seni cikeruhan, tidak ada jawaban gamblang soal definisi cikeruhan. Ada yang menganggap cikeruhan itu judul tembang lagu Sunda. Ada juga yang menyebut bahwa cikeruhan adalah seni sandiwara, tari, dan genre musik.

Namun, Supriatna (58), Ketua Sanggar Motekar dan budayawan Jatinangor yang fokus mengangkat dan memajukan seni tradisi di wilayahnya, mengatakan, cikeruhan merupakan seni tradisi tari pergaulan yang sudah lama sekali dikenal masyarakat Cikeruh. Bias sejarah

Supriatna mengatakan, tidak mustahil cikeruhan itu merupakan seni tradisi yang lahir di Cikeruh, Jatinangor. "Ya, memang belum ada bukti tertulis. Tapi, kalau kita analogikan, cianjuran berasal dari Cianjur, cigawiran berasal dari Cigawir. Begitu juga pencak silat. Cimande itu memang berasal dari Cimande dan cikalong memang berasal dari Cikalong. Jadi, kalau kita beranalogi ke sana, cikeruhan juga mustahil tidak ada kaitannya dengan Cikeruh," ujar Supriatna yang ditemui di kediamannya, Sanggar Motekar, Jalan Achmad Syam Nomor 70, Jatinangor.

Lebih lanjut ia menjelaskan, cikeruhan merupakan seni tari pergaulan yang usianya sudah sangat tua. Embrionya lahir dari tradisi ritual panen padi sebagai wujud rasa syukur kepada Dewi Sri Pohaci (dewi kesuburan) sekitar abad ke-18. Saat itu orang-orang berjalan kaki memikul padi dari sawah ke lumbung sembari menari dan membunyikan alat-alat yang mereka bawa. Lalu, ada seorang pejabat Belanda yang bekerja di perkebunan menghentikan mereka di tengah jalan. Orang Belanda itu ikut menari bersama mereka.

Selanjutnya, pejabat Belanda yang bekerja di kompleks perkebunan karet dan teh sekitar Jatinangor kerap mengundang pemusik dan pelantun lagu yang juga penari (ronggeng) untuk beraksi di kompleks perkebunan tersebut. Saat itu Cikeruh termasuk dalam lingkup kompleks perkebunan teh dan karet Jatinangor. Dari situ tradisi tersebut berlanjut menjadi tari pergaulan. Kata Supriatna, perkebunan merupakan lahan basah bagi para seniman itu untuk menggelar pertunjukan.

Namun, hal itu berbeda dengan keterangan Mas Nanu Munajar. Dalam bukunya berjudul Deskripsi Sajian Tari Cikeruhan (1995), berdasarkan keterangan yang ia himpun dari wawancara, Mas Nanu menyimpulkan, cikeruhan adalah tari tradisional yang dibawa dan dikembangkan di Cikeruh oleh salah seorang pangeran Sumedang. Tariannya berupa tarian tunggal pria yang diambil dari tingkah laku manusia dan binatang (Munajar, 1995:11-12).

Bukan hanya masalah sejarahnya yang berbeda, definisinya pun masih ambigu. Mas Nanu mengatakan, cikeruhan awalnya merupakan nama lagu untuk mengiringi ketuk tilu gaya Bandung (pakidulan) (Munajar, 1995:37). Ia menyimpulkan, ketuk tilu ada lebih dulu daripada cikeruhan dan cikeruhan ini adalah salah satu bentuk lain dari ketuk tilu.

Menyempit

Untuk membuat kesimpulan akhir tentang sejarah cikeruhan tentu perlu diadakan penelitian lebih mendalam. Namun, yang pasti, menilik sejarah kemunculannya, cikeruhan merupakan seni tari pergaulan. Pada dasarnya cikeruhan terdiri dari penabuh kendang; penggesek rebab; serta pemukul goong, ketuk tilu, dan kecrek. Kemudian, ada seorang ronggeng yang menyanyi sambil menari.

Pada tahap selanjutnya ditambah seorang pesinden. Ronggeng bertugas menari saja. Penonton akan menari bersama ronggeng dan membayar lagu yang dipesan. Yang khas dari cikeruhan adalah gesekan rebab dan tabuhan kendangnya. Tariannya bebas tanpa pakem. Tarian tersebut merupakan interaksi antara penonton dan ronggeng.

Kini ambuguitas cikeruhan semakin terasa dari gerak tarinya. Seniman akademisi menciptakan konsep koreografi tari cikeruhan. Mas Nanu merupakan salah seorang pelaku seni yang menciptakan koreografi cikeruhan. Dalam buku Deskripsi Sajian Tari Cikeruhan ia menerangkan alur sajian gerak yang terdapat pada cikeruhan, yaitu arang-arang bubuka, cikeruhan, kangsreng, dan arang-arang panutup. Ia juga mengombinasikan cikeruhan dengan pencak. Jadi, cikeruhan berbentuk seni tari pertunjukan yang terdiri dari dua penari perempuan (ronggeng); dua penari pria sebagai jawara; pengendang; penabuh goong, kecrek, ketuk tilu, dan rebab; serta pesinden.

Menanggapi hal itu, Supriatna yang juga pensiunan guru di Jatinangor berpendapat, hal tersebut wajar. Ia setuju dengan pengembangan seperti itu. Sebab, menurut dia, kesenian harus selalu mengikuti perkembangan zaman dengan catatan tidak meninggalkan akarnya. Supriatna menjelaskan, upaya itu bisa menimbulkan persepsi bahwa cikeruhan merupakan seni pertunjukan, bukan pergaulan lagi.

"Iya, cikeruhan itu kan sebuah tari pergaulan. Artinya, tari yang tidak berpola baku. Tapi, kalau sudah dalam bentuk CD, misalnya, nanti anak cucu kita akan menyangka bahwa cikeruhan itu tari yang seperti itu. Jadi, menyempit. Padahal, sebenarnya cikeruhan kan tidak hanya begitu. Dia menari boleh bebas. Jadi, nanti ada perubahan genre dan sifat dari tari pergaulan menjadi tari pertunjukan. Perbedaannya jelas antara pergaulan dan pertunjukan. Kalau pertunjukan, orang tidak ikut menari. Kita hanya menonton, tidak bisa ikut menari," papar Supriatna.

Meskipun terkesan ambigu dan multitafsir, pada akhirnya Sanggar Motekar tidak mau terlibat dalam perdebatan panjang soal sejarah cikeruhan. Di daerah asalnya, cikeruhan sudah masuk ke taraf gawat. Di sana tinggal ada satu orang yang ahli menggesek rebab dan menabuh kendang cikeruhan. Padahal, kedua alat musik itu adalah yang khas dari cikeruhan.

Sanggar Motekar kini berusaha membangkitkan kembali cikeruhan dengan memberikan pelatihan penggesek rebab dan penabuh kendang di sanggar. Mereka juga aktif mempertunjukkan cikeruhan pada acara tertentu di sekitar Sumedang.

Usaha Sanggar Motekar sudah mulai berbuah ketika SMPN 3 Jatinangor memasukkan cikeruhan sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah ini menjadi satu-satunya sekolah di Sumedang yang mengangkat cikeruhan sebagai kegiatan siswa. Semoga cikeruhan tetap lestari, khususnya di Cikeruh, Jatinangor.
FANDY HUTARI Penulis Lepas dan Penyuka Seni

Selasa, 08 Juni 2010

Perajin Senapan Angin dari Cikeruh


Selasa, 29/12/2009 09:03 WIB

Ema Nur Arifah - detikBandung



Bandung - Bagi sebagian orang kawasan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, lebih dikenal dengan Kampus Unpad. Tak jauh dari kampus, di kawasan Cikeruh, terdapat 80 perajin senapan angin dari dua desa yang sudah berkembang sejak tahun 1970-an.

R Ade Supriatna Pipik (56) merupakan generasi ketiga dari perintis industri senapan angin di kawasan ini. Menurut Pipik, sapaan akrabnya, industri senapan angin miliknya merupakan warisan dari orang tuanya yang sebelumnya mewarisi dari kakeknya.

"Usaha ini adalah warisan dari orang tua, saya adalah generasi ketiga," ujarnya saat ditemui di Pekan Kerajinan Jawa Barat, Graha Manggala Siliwangi, belum lama ini.

Pipik mengaku kakeknya sudah membuat senapan dari tahun 1800-an. Saat itu senapan yang dibuat senapan mesin untuk membantu perjuangan para pahlawan. Usaha itu kemudian diwariskan kepada ayahnya.

Ayahnya bekerja di PSM (Sekarang PT Pindad) Jalan Kiaracondong. Namun setelah dimiliterisasi, menurut Pipik, ayahnya memilih untuk berwiraswasta dan membuat senapan mesin sendiri.

Senapan yang dibuat untuk memasok kebutuhan senjata dalam melawan gerombolan Kartosuwiryo. Tapi setelah kelompok Kartosuwiryo tidak ada, izin membuat senapan mesin pun dicabut.

"Karena kemampuan membuat senapan, akhirnya tetap melanjutkan usaha ini dan membuat senapan angin," ujar Pipik. Perbedaan dengan senapan biasa, senapan angin memiliki ukuran laras yang lebih kecil diameternya.

Pipik pun melanjutkan usaha membuat senapan angin di tahun 1982. Model-model senapan angin yang dibuat merupakan hasil modifikasi model yang sudah ada di pasaran.

Sejak manajemen dipegang sang ayah, diakui Pipik, banyak para pekerja yang setelah bisa keluar dan membuat industri senapan sendiri. Maka, pelan-pelan di kawasan ini tumbuh perajin-perajin senapan angin baru yang pernah bekerja di perusahaan milik Pipik.

Hal itu tidak bisa dilarang Pipik, namun dirinya berharap tetap ada dalam koridor persaingan yang sehat.

Hingga kini ada sekitar 80 unit usaha atau bengkel senapan angin di Cikeruh. Jika dirata-ratakan setiap unit usaha memiliki 3 pegawai, maka menurut Pipik ada sekitar 240 orang yang terserap bekerja di bidang ini. Sementara Pipik sendiri sudah mempekerjakan 12 orang.

Pipik mendistribusikan senapan anginnya ke toko-toko di Jakarta dan Surabaya. Sampai saat ini diakui Pipik, kendala usahanya selain terletak pada modal dan pemasaran. Namun bantuan dari BUMN lah sebagai Mitra Binaan, yang bisa membawa usaha Pipik ke pameran-pameran. Sementara menurutnya program dari pemerintah juga ada namun tidak berkesinambungan.(ema/ahy)

Orang-orang Kalah dari Jatinangor




Minggu, 21 Februari 2010 | 04:02 WIB

OLEH BUDI SUWARNA DAN YULIA SAPTHIANI

Sebuah lukisan kusam bergambar wajah penuh ketakutan dan tangan yang menyerah tergantung di dinding rumah Supriatna (58), sesepuh di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. ”Lukisan itu berkisah tentang orang-orang kampung yang tergilas roda pembangunan di Jatinangor,” kata Supriatna sambil menghela napas.

Lukisan karya Sri Sayekti—alumnus IKIP Bandung—itu, tambah Supriatna, mewakili perasaan sebagian besar warga kampung Jatinangor dalam satu dekade terakhir. Pembangunan yang ekspansif dan membabi buta di sana justru membuat mereka merasa asing di kampungnya sendiri.

Supriatna mengenang, dulu kaki Gunung Manglayang di utara Jatinangor dipenuhi tanaman karet dan teh. Hanya dalam dua dekade kawasan itu berubah
menjadi kompleks universitas, mulai dari IPDN (dulu STPDN), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Ikopin, hingga yang paling besar Universitas Padjadjaran
(Unpad).

Sawah dan tegalan di selatan, timur, dan barat Jatinangor dalam seketika berubah menjadi wilayah kos-kosan—dari yang butut sampai yang mewah, warung
makan, restoran, kafe, lapangan futsal, perumahan, vila, hotel, mal, hingga apartemen. Adapun sejumput sawah yang tersisa di kaki bukit Geulis, sebagian
sudah dipatoki tanda: ”Dijual”. Barangkali, sawah itu akan menjadi sawah terakhir di Jatinangor.

Penduduk Jatinangor pun harus hidup berdampingan dengan mahasiswa dari berbagai daerah—bahkan mancanegara—yang kultur, gaya hidup, dan
bahasanya berbeda. Sampai-sampai, sebagian penduduk Jatinangor berkesimpulan, pembangunan di kawasan itu tidak memberikan banyak manfaat kepada
mereka, tetapi sebaliknya merebut apa yang mereka dulu miliki, termasuk tanah yang menjadi modal utama mereka sebagai petani.

Kenangan

Agus Jumiatin (33), warga Desa Caringin, menceritakan, tahun 1980-an, orangtuanya memiliki tanah seluas 25 tumbak (1 tumbak setara dengan 14 meter persegi). “Waktu itu tanah di sana harganya hanya Rp 32.000 per tumbak. Tiba-tiba datang orang kota yang berani beli Rp 35.000-Rp 100.000 per tumbak.
Orangtua saya dengan senang hati menjualnya dan tanah itu diubah pembelinya menjadi tempat kos-kosan,” katanya .

Setelah tanah itu dijual orangtua Agus tidak punya apa-apa. Uang hasil penjualan tanah pun menguap begitu saja. Untuk menopang kehidupan keluarga,
Agus bekerja di kos-kosan yang berdiri di bekas tanah milik orangtuanya dengan upah Rp 200.000 per bulan. ”Saya ngepel kos-kosan yang dulu tanah leluhur saya,” katanya. Sekarang dia tinggal menumpang di sepetak kamar milik mertuanya.

Cerita Nungkurniasih (49), warga Desa Hegarmanah, tidak kalah menyedihkan. Dia menceritakan, selama tiga turunan keluarganya tinggal di tanah perkebunan
karet di Cikadu, Jatinangor yang dulu dikuasai Belanda. Di tanah itu keluarganya dulu bertani dan memelihara domba.

Tahun 1982 tiba-tiba Nung dan keluarganya diminta pindah dari tanah tersebut dan diberi uang Rp 1,4 juta. Tanah itu kemudian menjadi bagian dari
kampus Unpad. Setelah itu keluarganya tidak punya rumah sebagai tempat tinggal. Akibatnya, sampai sekarang Nung dan keluarga terpaksa menumpang
tinggal di rumah kerabatnya.

Keluarga Nung juga tidak memiliki tanah yang bisa diolah. Suaminya menjadi pengangguran. Nung sendiri terpaksa bekerja sebagai petugas kebersihan di kampus Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad dengan upah Rp 600.000 per bulan. Ketika menyapu atau mengepel lantai gedung-gedung di kampus tersebut,
Nung hanya bisa mengenang bahwa kampus itu dulu adalah tempat dia bermain dan menggembala ternak.

”Ngopi” di mal

Bercerita tentang pembangunan Jatinangor, pada akhirnya kita memang harus ber bicara tentang kisah orang-orang yang kalah. Kerap kali pembangunan bukannya menyejahterakan, tetapi justru memiskinkan warga setempat.

Kalaupun ada pekerjaan untuk mereka, paling banter sebagai tukang ojek, tukang cuci, dan satpam kos-kosan.

”Mau dagang tidak punya modal. Mau bekerja, tidak punya ijazah,” kata Supriatna. Mantan kepala sekolah sebuah SD di Jatinangor ini mengatakan, hingga
tahun 2000-an, sebagian besar penduduk Jatinangor hanya lulusan SD.

Dulu, tanpa punya ijazah, kata Supriatna, orang Jatinangor bisa hidup. Betapa tidak, alam memberikan hampir semua kebutuhan dasar mereka. Mata air di
Gunung Manglayang mengalirkan air minum ke rumah-rumah warga, sawah-sawah di sebelah barat, timur, dan selatan Jatinangor menghasilkan butir-butir padi yang bernas. Semuanya kini rusak. Alam bahkan tidak lagi memberikan air bersih, tetapi mengirimkan banjir setiap musim hujan.

Sekarang, semua kebutuhan dasar disediakan mal. Persoalannya, warga Jatinangor kebanyakan tidak punya uang untuk membeli barang-barang mal. Yang bisa
beli hanya mahasiswa dan para pendatang.

”Kami hanya bisa menonton sambil membayangkan enaknya minum kopi di mal seperti mahasiswa yang keren-keren itu,” kata Agus.